Bentuk
persaudaraan yang dianjurkan oleh Al Qur’an tidak hanya persaudaraan satu
aqidah namun juga dengan warga masyrakat lain yang berbeda aqidah.
A. Persaudaraan Sesama Muslim
Al
Qur'an secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara, QS.
Al Hujurat/ 49: 10 :
Yang
artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat.”
Dalam
surat Al Hujurat ayat 11 dan 12 berisi tentang
kode etik warga masyarakat
muslim di antaranya adalah:
1.
Bahwa mereka tidak boleh saling
melecehkan dan menghina karena boleh jadi yang dilecehkan itu lebih baik dari
orang yang melecehkan.
2.
Sesama orang yang beriman tidak boleh
saling berprasangka buruk dan meng ghibah
3.
Saling menolong
Dalam
Al Qur'an Surat Al Anfal/ 8: 74
Yang
artinya : Dan
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar
beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.”
Salah
satu alasan mengapa kaum muslimin harus meneguhkan tali persaudaraan adalah
agar tidak terjadi fitnah dan kekacauan dalam masyarakat yang mereka bangun.
Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Dari Abu Musa dan Rasulullah saw bersabda:
Orang mukminbagi orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan sebagiannya
memperkokoh (menolong) sebagian yang lain”.
4.
Menegakkan Perdamaian
Apabila di
antara sesama mukmin yang berselisih maka anggota masyarakat lainnya harus
berusaha untuk mendamaikan mereka. Jika ada dua golongan dari orang mukmin
berperang, orang-orang mukmin diperintahkan untuk menasehati, atau dengan
ancaman atau sanksi hukum. Perlu digaris bawahi kepada orang-orang mukmin yang
bertindak sebagai juru damai harus berlaku adil dan jujur terhadap kedua
kelompok yang bertikai.
B. Persaudaraan dan Kerukunan dengan
Umat Non Muslim
Persaudaraan
yang diperintahkan AL Qur’an tidak hanya tertuju kepada sesama muslim, namun
juga kepada sesama warga masyarakat non muslim. Salah satu alasan yang
dijelaskan Al Qur’an adalah bahwa manusia yang satu sama lain, karena mereka
berasal dari sumber yang satu, QS. Al Hujurat/ 49: 13 :
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dari
segi hakikat penciptaan, manusia tidak ada perbedaan. Manusia semuanya sama,
diciptakan dari tanah, dari diri yang satu yakni Adam yang diciptakan dari
tanag dan dari padanya diciptakan istrinya.
Asas
dasar asal usul kejadian manusia adalah sama, maka tidak layak seseorang atau
satu golongan merasa lebih dan membanggakan diri terhadap yang lain dan
menghindanya.
Dengan
persamaan tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerjasama
sekalipun terdapat perbedaan aqidah. Al Qur’an dan agama Islam pada umumnya
memberikan kode etik dalam hubungan antar pemeluk agama. Beberapa kode etik itu
adalah:
1.
Tidak Bertoleransi dalam Aqidah
Secara
tegas diisyaratkan oleh Al Qur’an Surat Al Kafiruun/ 109, Kerukunan hidup antar
pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuankan
dengan catatan tidak mengorbankan aqidah. Kalimat yang secara tegas menunjukkan
hal tersebut seperti terekam dalam Surat Al Kafiruun. “Bagimu agama mu
(silahkan yakini dan amalkan) dan bagiku agamaku (biarkan aku yakini dan
melaksanakannya). Masing-masing akan mempertanggungjawabkan pilihannya. Biarlah
Allah nanti yang menjadi hakim yang adil di akhirat. Al Qur’an melarang kaum
muslim mencerca Tuhan-Tuhan atau sembahan-sembahan non muslim.
2.
Tidak Menghina Simbol-Simbol Kesucian
Agama Lain
Ayat
yang secara tegas melarang hal ini adalah QS. Al An ‘aam/ 6: 108, yang artinya:
“Dan janganlah kamu memaki-maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Dia member
tahu kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Larangan
ayat ini bukan kepada hakikat Tuhan-Tuhan mereka, namun kepada penghinaan,
karena penghinaan tidak menghasilkan sesuatu menyangkut kemaslahatan agama.
Dengan berlandaskan kode etik di atas, Islam mendorong kaum muslimin untuk
bekerja sama dengan pemeluk agama lain.
Bahwa
dalam Al Qur’an sangat menghargai prinsip-prinsip pluralitas yang merupakan
realita yang dikehendaki oleh Allah SWT. Prinsip pluralitas ini juga ditelusuri
dalam ayat lain yaitu QS. Ar Ruum/ 22: 30, yang menyatakan bahwa perbedaan
bahasa dan warna kulit manusia harus diterima sebagai kenyataan yang positif,
yang merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah. Perbedaan tersebut tidak
harus ditertentangkan sehingga harus ditakuti, melainkan harus menjadi titik
tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan.
Menyikapi
fakta pluralita sosial tersebut, Islam melalui Al Qur’an menganjurkan agar umat
Islam mengajak kepada komunitas yang lain (Yahudi dan Nasrani) untuk mencari
suatu pandangan yang sama (Kalimatun Sawa), yang ditegaskan dalam Surat Al
Imran/ 3: 64 yang artinya:
“Kataka
hai ahli Al Kitab, marilah menuju kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan yang lain sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah. Jika mereka
berpaling, maka katakanlah: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim
yang berserah diri (kepada Allah)
Wallahu
a’lam
0 komentar:
Posting Komentar