Minggu, 09 Desember 2012



Falsafah hidup bangsa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila belum terlihat jelas upaya untuk mewujudkannya secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret. Jangankan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan. Sudah mati angin. Pancasila seperti ditelantarkan.
Sebaliknya, godaan akibat perkembangan zaman menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam,
pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi. Godaan akibat globalisasi menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah. Lebih memprihatinkan lagi dan
sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.
Segala kegagalan dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan dalam mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai misioner Pancasila sebagai falsafat hidup bangsa. Upaya-upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah. Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari opotunitas harian.
Perkembangan globalisasi yang pesat mengakibatkan tidak adanya kegairahan yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa banyak didasari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran. Semakin terasa kegamangan dan kehampaan mendalam, the existensial vacum, jika Pancasila dibiarkan merana. Sungguh dikhawatirkan kemungkinan masuk angin, apalagi badai ke dalam ruang hampa itu yang dapat memorak porandakan Pancasila sebagai rumah bersama Indonesia.

Ideologi Negara Indonesia
            Ideologi erat sekali hubungannya dengan filsafat karena filsafat merupakan dasar dari gagasan yang berupa ideologi. Filsafat memberikan dasar renungan atas ideologi itu sehingga dapat dijelmakan menjadi suatu gagasan untuk pedoman bertindak. Dilihat dari sudut etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu filos berarti cinta dan sophia berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadi, filsafat berarti cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian dirangkumkan menjadi suatu makna bahwa filsafat adalah suatu renungan atau pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran. Pemikiran filsafat harus berdasarkan kejujuran dalam penemuan hakikat dari suatu obyek yang menjadi titik sentral dalam pemikiran karena filsafat tersusun dalam suatu keseluruhan, kebulatan, dan sistematis.
            Jelas sekali bahwa hubungan ideologi dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan. Ideologi berdiri berdasarkan landasan tertentu, yaitu filsafat. Masalah ideologi adalah masalah pilihan. Ketepatannya tergantung pada jiwa bangsa itu sendiri. Ideologi yang dianggapnya benar dan sesuai dengan jiwa bangsa, apalagi yang telah terbukti tetap dapat bertahan dari segala godaan dan cobaan dari ideologi lain melalui gerakan-gerakan atau pemberontakan akan memperkuat keyakinan pentingnya mempertahankan ideologi.
            Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakekat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, Ideologi Pancasila mengakui atas kebebasan hak-hak masyarakat. Selain itu, manusia, menurut Pancasila, memiliki kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sehingga nilai-nilai ke-Tuhan-an senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam hidup negara dan masyarakat. Kebebasan manusia dalam rangka demokrasi tidak melampui hakekat nilai-nilai ke-Tuhan-an, bahkan nilai ke-Tuhan-an terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi kebebasan manusia.
            Pancasila sebagai ideologi negara berisikan ajaran mengenai ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai itu berpangkal dari akar pikiran budaya Indonesia dan terkait dengan perjuangan bangsa (Pranaka, 1985). Pancasila sebagai ideologi berarti suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat, dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila dalam pengertian ideologi sama arinya dengan pandangan hidup bangsa atau biasa disebut falsafat hidup bangsa.
            Falsafat negara merupakan norma yang paling dasar untuk mengecek apakah kebijakan-kebijakan legislatif dan eksekutif negara sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat atau tidak. Pancasila sebagai ideologi memuat nilai-nilai dasar yang belum bersifat operasional. Untuk operasionalisasi ini, setiap generasi harus memaknai kembali filsafat negara ini dan mencari apa implikasi sesuai dengan konteks zaman. Filsafat negara tidak pernah membelenggu kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan justru memberi peluang untuk mengembangkan masyarakatnya (Magnis Suseno, 1994). Realisasi nilai-nilai dasar ini adalah tanggung jawab setiap generasi dalam kehidupan nyata baik sebagai individu, sebagai warga negara serta diaktualisasikan dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Pancasila jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh karenanya, ideologi tersebut tidak langsung bersifat operasional, masih harus dieksplisitkan, dan dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai dengan konteks zaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi-dimensi idealis, nomatif, dan realitas. Selain itu, ideologi Pancasila senantiasa merupakan wahana bagi tercapainya tujuan bangsa.
            Rumusan-rumusan Pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat umum, universal sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila memiliki dimensi normatif, artinya nilai-nilai dasar tadi dijabarkan dalam norma-norma atau aturan-aturan sebagaimana tersusun dalam tata aturan perundangan yang berlaku di Indonesia dari yang tertinggi sampai yang terendah. Dimensi realitas artinya ideologi Pancasila mencerminkan realitas hidup yang ada di masyarakat, sehingga Pancasila tidak pernah bertentangan dengan tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan tata hidup keagamaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Globalisasi
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya universal. Achmad Suparman menyatakan bahwa globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dilihat dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Reaksi masyarakat dalam menghadapi globalisasi pun berbeda-beda, ada yang pro-gloabalisasi dan ada yang anti-globalisasi. Gerakan pendukung globalisasi atau disebut juga dengan pro-globalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lain, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efisien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Sedangkan gerakan anti-globalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar-negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Anti-globalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "anti-globalisasi" sering menolak istilah itu dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.
Saat ini merupakan suatu zaman di mana proses penyeragaman yang amat ketara sedang berlangsung. Akibat dari apa yang dikatakan globalisasi, orang-orang sudah hampir pasti mengatakan kepelbagaian adalah satu ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, orang-orang semakin akur mengatakan bahawa globalisasi adalah suatu konsep yang benar dan tepat walaupun natijahnya jelas membawa banyak kesan negatif daripada positif. Kalau diperhatikan dengan seksama, hampir semua aspek kehidupan sedang menjalani proses globalisasi yang sebenarnya adalah untuk menyeret semua orang ke dalam suatu sistem hidup yang diseragamkan di seluruh dunia. Tidak ada aspek kehidupan yang tidak disentuh oleh proses globalisasi. Tidak ada sektor pembangunan dan kemajuan sebuah negara yang sepi dari sentuhan globalisasi. Namun begitu, orang-orang tidak pula nampaknya mengambil sikap yang kritikal terhadap proses ini. Dalam kegairahan untuk diglobalkan, orang-orang semakin terputus dari budaya dan akar sejarah diri sendiri. Suatu tanggapan yang tidak disadari sedang menjadi asas pemikiran kita masa kini ialah semua sejarah bangsa maupun negara tidak lagi bermakna melainkan proses globalisasi adalah satu-satunya fenomena yang harus membentuk seluruh tamadun hidup semasa.
Itulah hakikat globalisasi sebenarnya dimana ia adalah suatu proses penyeragaman dan penyamarataan "semua untuk satu dan satu untuk semua". Globalisasi dilihat sebagai suatu faham bahwa di dalam kehidupan ini tidak wajar lagi diiktiraf tanggapan nilai murni dan mulia secara objektif. Akibat dari "nilai-nilai global" yang dibentuk serta didalangi dan didukung oleh faham dan pandangan hidup barat, maka kehidupan yang dilandaskan oleh nilai-nilai mutlak berdasarkan pegangan agama tidak lagi dapat diterima.

Globalisme bertentangan dengan Pancasila
            Jika Pancasila menentang kolonialisme, imperialisme, dan kapitaslisme, tidaklah mengherankan kalau ia bertentangan dengan globalisme, yang tidak lain daripada kapitalisme lanjut modal Amerika yang sedang berusaha menguasai dunia dalam aspek ekonomi. Neokapitalisme ini bersifat global dan sebagian besar negara sedikit banyak dikuasai, tetapi secara terpisah-pisah. Sementara itu di pusatnya sendiri mulai timbul gerakan reaktif, terutama karena melahirkan kesenjangan ekonomi, sosial, dan informatif. Kesenjangan itu makin mencolok dengan kemiskinan yang makin merata dan menuju kemelaratan. Jika pusat-pusat kecil perlawanan sekarang terdapat di Amerika Serikat, Amerika Latin, Eropa, Asia, dan Afrika, di masa depan diramalkan akan lebih merata dan lebih kuat, bahkan di negara-negara yang sekarang menerima globalisme sebagai taktik dan strategi jangka pendek.
            Globalisme bertentangan dengan sila kesatu karena ia membangkitkan materialisme yang menentang spiritualitas dan bangkitnya semangat eksploitas mondial, yang menggerus moral dan etika. Pada globalisasi, hormat terhadap nyawa dan manusia berkurang dengan drastis demi pengejaran kesenangan duniawai dan kebahagiaan semu. Demikian pula terjadi komensialisasi agama dan berbagai aspek agama dijadikan komoditas serta pudarnya substansi agama. Terdapat pula pergeseran hormat dan kekuatan supernatural absolut ke ikon-ikon kemewahan dan fokus kegiatan teralihkan ke hiburan.
            Kontradiksi dengan sila kedua. Akibat globalisasi, kemanusiaan dan peri kemanusiaan diganti oleh teknologi dan efisiensi, manusia menjadi usang atau menjadi suku mesin industri (teknologisasi) dan dapat dibuang setiap waktu karena tidak diperlukan lagi. Pada arus globalisasi, hak-hak manusia dan etika dilanggar kalau bertentangan dengan usaha mencari laba dan kekuasaan. Siklus kehidupan manusia ditandai oleh pembatasan kehamilan dan kelahiran, pemiskinan dan eksploitasi, serta pembunuhan oleh kejahatan dan senjata pembunuhan massal. Pendidikan dan pelayanan kesehatan menjadi komoditas, demikian pula seni (proses dan produknya), sedangkan yang dipentingkan adalah Sumber Daya Manusia (faktor produksi). Komoditas hidup mulai dari kehamilan sampai kematian, penjualan bagian-bagian badan, dan rekayasa inti hayati.
            Globalisasi bertentangan dengan sila ketiga, karena hilangnya porositas batas negara-bangsa oleh arus bebas faktor-faktor produksi, pelenyapan tarif (meskipun asimetris), tak terkendalinya arus lintas-batas informasi dan nilai-nilai. Demikian pula semakin meningkatnya intermensi dari luar oleh negara kuat dan korporasi transnasional dalam pemilu, diplomatik, penyadapan komunikasi, operasi intel-teritorial dan lewat angkasa, pusat pengambilan keputusan pindah ke pusat globalisme serta global porart mendominasi kesenian. Kerjasama asimetris militer, intel, dan polisional membuat rahasia militer, sekularitas, dan industri negara lemah menjadi tidak aman. Nasionalisme, negara bangsa, ideologi, dan kesejahteraan rakyat suatu bangsa dianggap sudah berakhir.
            Globalisasi bertentangan dengan sila keempat karena globalisme menaikkan penghasilan per-kapita nasional, tetapi menambah pula prosentase orang miskin, sehingga terjadi rekonfigurasi lapisan-lapisan sosial-ekonomis. Globalisme menekan aspirasi rakyat suatu negara dengan ambisi-ambisi korporasi transnasional yang lebih kuat daripada ambisi negara. Globalisme menghalangi kecerdasan dan kesehatan rakyat dengan bertambah mahalnya komoditas ilmu pengetahuan dan kesehatan. Demikian pula menekan kepribadian dan autoekspresi melalui produksi massal, produk, konsumtif, uniformasi kehidupan, dan penguasaan pendapat oleh mediasi internasional. Pembelian suara, kebijakan, wewenang, dan lisensi antara calo-calo dan calon pejabat atau pejabat sangat subur terjadi di era globalisme ini.
            Sila kelima juga menentang globalisme karena keadilan komutatif, distributif, dan legal diperjualbelikan; konsumen tidak berhubungan langsung dengan produsen; produki, distribusi, dan sistem legal dibuat demi keuntungan modal; dan eksploitas lingkungan dapat mengancam keadilan nasional, regional, internasional, maupun intergenerasional, karena hutang dan pajak lingkungan tidak dibayar.
            Akibat globalisme, lingkungan kultural dan natural akan berubah melalui waktu. Pancasila akan berubah pula dan demikian pula penafsiran dan prakteknya. Dehimanisasi dan komodifikasi manusia harus dicegah termasuk lalu lintas perdagangan manusia. Kesenjangan ekonomi akan meningkatkan kejahatan, bunuh diri, dan deniasi kultural. Prosentase narapidana akan bertambah karena kesulitan ekonomi akan mendorong orang dengan iman dan pendidikan terbatas untuk cenderung terancam oleh demoralisasi atau kriminalitas.
            Geografi tidak berarti lagi dalam sistem internasional. Gerakan asosiatif oleh globalisme akan memunculkan gerakan disosiatif, sesi (separatisme) etnis, kelompok-kelompok politik dan kultural sempalan, ”negara regional,” autonomi ekstra-luas, dan kelompok yang termarginalisasi. ”Negara-negara terlalu kecil untuk mengurus soal-soal besar dan terlalu besar untuk mengurus soal-soal kecil.” Ia tidak berdaya menghadapi pengaruh korporasi internasional dan tidak mampu menghadapi masalah-masalah lokal.
            Demokrasi kehilangan substansinya. Negara tidak menguasai sumber daya alam yang melingkup hajat hidup orang banyak, terjadilah denasionalisasi badan usaha negara, serta transnasionalisasi mendesak ”penyemaan” tambang, hutan-laut, dan lainnya. Desentralisasi pemerintahan yang terlalu cepat dan berlebih memunculkan masalah kuantitatif dan kualitatif birokrasi, dan pemekaran daerah menimbulkan penciutan teritorial dan anggaran, serta rumitnya pengelolaan negara kesatuan.
            Menghadapi masalah keadilan, rekonsigurasi sosial ekonomi menjadi biang keladi konflik dengan kekerasan, masa pengembara sengsara yang berkeliling mencari kerja untuk bertahan hidup akan berjumlah 20%, sedangkan hiperkelas minoritas menguasai faktor-faktor produksi (termasuk informasi). Sisanya mencari kesempatan naik ke hiperkelas ataupun puas dengan berbagai macam hiburan, produk-produk konsumtif massal, dan narkotika.
            Setiap orang dapat memanfaatkan dan mengamalkan Pancasila dalam menghadapi masa depan. Ada cara-cara lain untuk itu tetap Pancasila sudah dimiliki, hanya belum dipraktekkan sungguh-sungguh dan disesuaikan dengan evolusi budaya global.


REFERENSI

Rukiyati. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Saksono, Ign. Gatot. 2007. Pancasila Soekarno. Yogyakarta: CVx URNA CIPTA MEDIA JAYA.
Puspita, Dessy. 2011. Pancasila sebagai Ideologi Nasional. (http://dessypuspita.com/blog/2011/05/13/pancasila-sebagai-ideologi-nasional, diakses tanggal 03 Juni 2012)





Baca juga:

0 komentar:

Posting Komentar