Falsafah hidup bangsa yang terkandung dalam nilai-nilai
Pancasila belum terlihat jelas upaya untuk mewujudkannya secara
sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret.
Jangankan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, keinginan membicarakannya saja cenderung
ogah-ogahan. Sudah mati angin. Pancasila seperti ditelantarkan.
Sebaliknya, godaan akibat perkembangan zaman
menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak
selalu terbuka. Upaya diam-diam,
pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi. Godaan akibat globalisasi menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah. Lebih memprihatinkan lagi dan
sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.
pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi. Godaan akibat globalisasi menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah. Lebih memprihatinkan lagi dan
sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.
Segala kegagalan dalam mewujudkan Indonesia yang
sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan dalam
mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai misioner Pancasila sebagai
falsafat hidup bangsa. Upaya-upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh
ideologi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang
cenderung melemah. Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di
pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi
panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari
opotunitas harian.
Perkembangan globalisasi yang pesat mengakibatkan tidak
adanya kegairahan yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa banyak didasari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran.
Semakin terasa kegamangan dan kehampaan mendalam, the existensial vacum, jika Pancasila dibiarkan merana. Sungguh
dikhawatirkan kemungkinan masuk angin, apalagi badai ke dalam ruang hampa itu
yang dapat memorak porandakan Pancasila sebagai rumah bersama Indonesia.
Ideologi Negara Indonesia
Ideologi
erat sekali hubungannya dengan filsafat karena filsafat merupakan dasar dari
gagasan yang berupa ideologi. Filsafat memberikan dasar renungan atas ideologi
itu sehingga dapat dijelmakan menjadi suatu gagasan untuk pedoman bertindak. Dilihat
dari sudut etimologi, filsafat berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu filos berarti cinta dan sophia
berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadi, filsafat berarti cinta akan kebenaran atau
kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian dirangkumkan menjadi suatu makna
bahwa filsafat adalah suatu renungan atau pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk
mencari kebenaran. Pemikiran filsafat harus berdasarkan kejujuran dalam
penemuan hakikat dari suatu obyek yang menjadi titik sentral dalam pemikiran
karena filsafat tersusun dalam suatu keseluruhan, kebulatan, dan sistematis.
Jelas sekali bahwa hubungan
ideologi dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan. Ideologi berdiri berdasarkan
landasan tertentu, yaitu filsafat. Masalah ideologi adalah
masalah pilihan. Ketepatannya tergantung pada jiwa bangsa itu sendiri. Ideologi yang
dianggapnya benar dan sesuai dengan jiwa bangsa, apalagi yang telah terbukti
tetap dapat bertahan dari segala godaan dan cobaan dari ideologi lain melalui
gerakan-gerakan atau pemberontakan akan memperkuat keyakinan pentingnya
mempertahankan ideologi.
Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakekat sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, Ideologi Pancasila mengakui atas kebebasan hak-hak
masyarakat. Selain itu, manusia, menurut Pancasila, memiliki kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa sehingga nilai-nilai ke-Tuhan-an senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam
hidup negara dan masyarakat. Kebebasan manusia dalam rangka demokrasi tidak
melampui hakekat nilai-nilai ke-Tuhan-an, bahkan nilai ke-Tuhan-an terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi kebebasan manusia.
Pancasila sebagai ideologi
negara berisikan ajaran mengenai ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Nilai-nilai itu berpangkal dari akar pikiran budaya Indonesia dan terkait dengan
perjuangan bangsa (Pranaka, 1985). Pancasila sebagai ideologi berarti suatu
pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia,
masyarakat, dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia. Oleh karena
itu, Pancasila dalam pengertian ideologi sama arinya dengan pandangan hidup
bangsa atau biasa disebut falsafat hidup bangsa.
Falsafat negara merupakan norma yang paling dasar untuk mengecek apakah kebijakan-kebijakan legislatif dan eksekutif negara sesuai dengan
persetujuan dasar masyarakat atau tidak. Pancasila sebagai ideologi memuat
nilai-nilai dasar yang belum bersifat operasional. Untuk operasionalisasi ini, setiap generasi harus memaknai kembali filsafat negara ini dan mencari apa
implikasi sesuai dengan konteks zaman. Filsafat negara tidak pernah membelenggu
kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan justru memberi peluang untuk
mengembangkan masyarakatnya (Magnis Suseno, 1994). Realisasi nilai-nilai dasar ini adalah tanggung jawab setiap generasi dalam kehidupan nyata baik sebagai individu, sebagai warga negara serta diaktualisasikan dalam segala bentuk
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila jika dilihat
dari nilai-nilai dasarnya dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam
ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat
tetap dan tidak berubah. Oleh karenanya, ideologi tersebut tidak langsung bersifat
operasional, masih harus dieksplisitkan, dan dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai dengan
konteks zaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi-dimensi
idealis, nomatif, dan realitas. Selain itu, ideologi Pancasila senantiasa
merupakan wahana bagi tercapainya tujuan bangsa.
Rumusan-rumusan Pancasila
sebagai ideologi terbuka bersifat umum, universal sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Pancasila memiliki dimensi normatif, artinya nilai-nilai dasar tadi dijabarkan
dalam norma-norma atau aturan-aturan sebagaimana tersusun dalam tata aturan
perundangan yang berlaku di Indonesia dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Dimensi realitas artinya ideologi Pancasila mencerminkan realitas hidup yang
ada di masyarakat, sehingga Pancasila tidak pernah bertentangan dengan tradisi,
adat-istiadat, kebudayaan, dan tata hidup keagamaan yang ada dalam masyarakat
Indonesia.
Globalisasi
Menurut asal katanya, kata
"globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya universal.
Achmad Suparman menyatakan bahwa globalisasi adalah suatu proses menjadikan
sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini
tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan,
kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari
sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial,
atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan
negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan
baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi,
dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah
proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang
memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dilihat dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam
bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan
mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena
tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap
perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti
budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Reaksi masyarakat dalam menghadapi globalisasi pun
berbeda-beda, ada yang pro-gloabalisasi dan ada yang anti-globalisasi. Gerakan
pendukung globalisasi atau disebut juga dengan pro-globalisasi menganggap bahwa
globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat
dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh
David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain
saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lain, dan salah satu
bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat
melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang
dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera
digital (mampu mencetak lebih efisien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia
memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang
dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor
produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi
kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga
sebaliknya.
Sedangkan gerakan
anti-globalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan
sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global
dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar-negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Anti-globalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan
sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup
sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta
dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global
saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh,
kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "anti-globalisasi" sering menolak
istilah itu dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan
Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.
Saat ini merupakan suatu zaman di mana proses
penyeragaman yang amat ketara sedang berlangsung. Akibat dari apa yang
dikatakan globalisasi, orang-orang sudah hampir pasti mengatakan kepelbagaian
adalah satu ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, orang-orang semakin akur
mengatakan bahawa globalisasi adalah suatu konsep yang benar dan tepat walaupun
natijahnya jelas membawa banyak kesan negatif daripada positif. Kalau
diperhatikan dengan seksama, hampir semua aspek kehidupan sedang menjalani
proses globalisasi yang sebenarnya adalah untuk menyeret semua orang ke dalam
suatu sistem hidup yang diseragamkan di seluruh dunia. Tidak ada aspek
kehidupan yang tidak disentuh oleh proses globalisasi. Tidak ada sektor
pembangunan dan kemajuan sebuah negara yang sepi dari sentuhan globalisasi. Namun begitu, orang-orang tidak pula nampaknya mengambil sikap
yang kritikal terhadap proses ini. Dalam kegairahan untuk diglobalkan,
orang-orang semakin terputus dari budaya dan akar sejarah diri sendiri. Suatu
tanggapan yang tidak disadari sedang menjadi asas pemikiran kita masa
kini ialah semua sejarah bangsa maupun negara tidak lagi bermakna melainkan
proses globalisasi adalah satu-satunya fenomena yang harus membentuk seluruh
tamadun hidup semasa.
Itulah hakikat globalisasi
sebenarnya dimana ia adalah suatu proses penyeragaman dan penyamarataan
"semua untuk satu dan satu untuk semua". Globalisasi dilihat sebagai
suatu faham bahwa di dalam kehidupan ini tidak wajar lagi diiktiraf tanggapan
nilai murni dan mulia secara objektif. Akibat dari "nilai-nilai global"
yang dibentuk serta didalangi dan didukung oleh faham dan pandangan hidup
barat, maka kehidupan yang dilandaskan oleh nilai-nilai mutlak berdasarkan
pegangan agama tidak lagi dapat diterima.
Globalisme bertentangan dengan Pancasila
Jika Pancasila menentang
kolonialisme, imperialisme, dan kapitaslisme, tidaklah mengherankan kalau ia
bertentangan dengan globalisme, yang tidak lain daripada kapitalisme lanjut
modal Amerika yang sedang berusaha menguasai dunia dalam aspek ekonomi.
Neokapitalisme ini bersifat global dan sebagian besar negara sedikit banyak
dikuasai, tetapi secara terpisah-pisah. Sementara itu di pusatnya sendiri mulai
timbul gerakan reaktif, terutama karena melahirkan kesenjangan ekonomi, sosial,
dan informatif. Kesenjangan itu makin mencolok dengan kemiskinan yang makin
merata dan menuju kemelaratan. Jika pusat-pusat kecil perlawanan sekarang
terdapat di Amerika Serikat, Amerika Latin, Eropa, Asia, dan Afrika, di masa
depan diramalkan akan lebih merata dan lebih kuat, bahkan di negara-negara yang
sekarang menerima globalisme sebagai taktik dan strategi jangka pendek.
Globalisme
bertentangan dengan sila kesatu karena ia membangkitkan materialisme yang
menentang spiritualitas dan bangkitnya semangat eksploitas mondial, yang
menggerus moral dan etika. Pada globalisasi, hormat terhadap nyawa dan manusia berkurang
dengan drastis demi pengejaran kesenangan duniawai dan kebahagiaan semu.
Demikian pula terjadi komensialisasi agama dan berbagai aspek agama dijadikan
komoditas serta pudarnya substansi agama. Terdapat pula pergeseran hormat dan
kekuatan supernatural absolut ke ikon-ikon kemewahan dan fokus kegiatan
teralihkan ke hiburan.
Kontradiksi dengan sila
kedua. Akibat globalisasi, kemanusiaan dan peri kemanusiaan diganti oleh
teknologi dan efisiensi, manusia menjadi usang atau menjadi suku mesin industri
(teknologisasi) dan dapat dibuang setiap waktu karena tidak diperlukan lagi.
Pada arus globalisasi, hak-hak manusia dan etika dilanggar kalau bertentangan
dengan usaha mencari laba dan kekuasaan. Siklus kehidupan manusia ditandai oleh
pembatasan kehamilan dan kelahiran, pemiskinan dan eksploitasi, serta
pembunuhan oleh kejahatan dan senjata pembunuhan massal. Pendidikan dan
pelayanan kesehatan menjadi komoditas, demikian pula seni (proses dan produknya),
sedangkan yang dipentingkan adalah Sumber Daya Manusia (faktor produksi).
Komoditas hidup mulai dari kehamilan sampai kematian, penjualan bagian-bagian
badan, dan rekayasa inti hayati.
Globalisasi bertentangan
dengan sila ketiga, karena hilangnya porositas batas negara-bangsa oleh arus
bebas faktor-faktor produksi, pelenyapan tarif (meskipun asimetris), tak
terkendalinya arus lintas-batas informasi dan nilai-nilai. Demikian pula
semakin meningkatnya intermensi dari luar oleh negara kuat dan korporasi transnasional dalam pemilu, diplomatik, penyadapan komunikasi, operasi intel-teritorial dan lewat angkasa, pusat pengambilan keputusan pindah ke pusat
globalisme serta global porart mendominasi kesenian. Kerjasama asimetris
militer, intel, dan polisional membuat rahasia militer, sekularitas, dan
industri negara lemah menjadi tidak aman. Nasionalisme, negara bangsa, ideologi, dan kesejahteraan rakyat suatu bangsa
dianggap sudah berakhir.
Globalisasi
bertentangan dengan sila keempat karena globalisme menaikkan penghasilan
per-kapita nasional, tetapi menambah pula prosentase orang miskin, sehingga
terjadi rekonfigurasi lapisan-lapisan sosial-ekonomis. Globalisme menekan aspirasi rakyat
suatu negara dengan ambisi-ambisi korporasi transnasional yang lebih kuat
daripada ambisi negara. Globalisme menghalangi kecerdasan dan kesehatan rakyat
dengan bertambah mahalnya komoditas ilmu pengetahuan dan kesehatan. Demikian pula menekan kepribadian dan autoekspresi melalui produksi
massal, produk, konsumtif, uniformasi kehidupan, dan penguasaan pendapat oleh
mediasi internasional. Pembelian suara, kebijakan, wewenang, dan lisensi antara calo-calo dan calon pejabat atau pejabat sangat subur
terjadi di era globalisme ini.
Sila kelima juga menentang globalisme karena keadilan komutatif, distributif, dan legal
diperjualbelikan; konsumen tidak berhubungan langsung dengan produsen; produki,
distribusi, dan sistem legal dibuat demi keuntungan modal; dan eksploitas
lingkungan dapat mengancam keadilan nasional, regional, internasional, maupun
intergenerasional, karena hutang dan pajak lingkungan tidak dibayar.
Akibat globalisme, lingkungan kultural dan natural akan berubah melalui waktu. Pancasila akan
berubah pula dan demikian pula penafsiran dan prakteknya. Dehimanisasi dan komodifikasi manusia harus dicegah termasuk lalu lintas
perdagangan manusia. Kesenjangan ekonomi akan meningkatkan kejahatan, bunuh
diri, dan deniasi kultural. Prosentase narapidana akan bertambah karena kesulitan
ekonomi akan mendorong orang dengan iman dan pendidikan terbatas untuk
cenderung terancam oleh demoralisasi atau kriminalitas.
Geografi tidak berarti lagi dalam sistem internasional. Gerakan asosiatif oleh globalisme akan memunculkan gerakan disosiatif, sesi (separatisme)
etnis, kelompok-kelompok politik dan kultural sempalan, ”negara regional,”
autonomi ekstra-luas, dan kelompok yang termarginalisasi. ”Negara-negara
terlalu kecil untuk mengurus soal-soal besar dan terlalu besar untuk mengurus
soal-soal kecil.” Ia tidak berdaya menghadapi pengaruh korporasi internasional
dan tidak mampu menghadapi masalah-masalah lokal.
Demokrasi
kehilangan substansinya. Negara tidak menguasai sumber daya alam yang melingkup
hajat hidup orang banyak, terjadilah denasionalisasi badan usaha negara, serta
transnasionalisasi mendesak ”penyemaan” tambang, hutan-laut, dan lainnya. Desentralisasi pemerintahan yang terlalu cepat dan berlebih memunculkan
masalah kuantitatif dan kualitatif birokrasi, dan pemekaran daerah menimbulkan
penciutan teritorial dan anggaran, serta rumitnya pengelolaan negara kesatuan.
Menghadapi
masalah keadilan, rekonsigurasi sosial ekonomi menjadi biang
keladi konflik dengan kekerasan, masa pengembara sengsara yang berkeliling mencari
kerja untuk bertahan hidup akan berjumlah 20%, sedangkan hiperkelas minoritas
menguasai faktor-faktor produksi (termasuk informasi). Sisanya mencari
kesempatan naik ke hiperkelas ataupun puas dengan berbagai macam hiburan,
produk-produk konsumtif massal, dan narkotika.
Setiap orang dapat
memanfaatkan dan mengamalkan Pancasila dalam menghadapi masa depan. Ada cara-cara lain untuk itu tetap Pancasila sudah
dimiliki, hanya belum dipraktekkan sungguh-sungguh dan disesuaikan dengan
evolusi budaya global.
REFERENSI
Rukiyati. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Saksono, Ign. Gatot. 2007. Pancasila Soekarno. Yogyakarta:
CVx URNA CIPTA MEDIA JAYA.
Puspita, Dessy.
2011. Pancasila sebagai Ideologi Nasional.
(http://dessypuspita.com/blog/2011/05/13/pancasila-sebagai-ideologi-nasional,
diakses tanggal 03 Juni 2012)
Baca juga:
0 komentar:
Posting Komentar